Arsip Tag: denny sakrie

Menyingkap Gagasan Sampul Album Frau Oleh Denny Sakrie

Kamarmusik.net, JAKARTA – Dua tahun silam (tahun 2010, red), saya terpukau dengan penampilan musik dari gadis bernama Frau, bernyanyi sembari memainkan pianonya yang diberi nama Oskar. Gadis berpenampilan polos dan sederhana  ini memiliki kedalaman dalam berkesenian. Musik yang dimainkannya, menurut saya tak sebersahaja penampilan yang nyaris tak berpupur itu. Akhirnya saya mengetahui nama pengguna nickname itu adalah Lani.

Saat itu saya menyimak karya-karya Frau melalui netlabel Yes No Wave. Hmm…kerinduan saya kian memuncak ketika menyimak lagu-lagu yang teduh tapi terkadang memiliki sebuah daya tiada terduga seperti galibnya folk era 70-an. Sebut saja seperti karya Joni Mitchel, Nina Simone atau pun Laura Nyro. Akhirnya album Frau itu dirilis juga secara fisik dalam bentuk CD yang didistribusikan oleh Demajors Jakarta

Sampul album Frau berjudul Starlit Carousel, seorang singer/songwriter dari Yogyakarta mengusik perhatian saya sejak album ini dirilis dua tahun lalu. Saat majalah Rolling Stone meminta kesediaan saya sebagai tim pemilih sampul album musik Indonesia terbaik, saya memang telah memberikan stabillo boss untuk sampul album Frau ini. Bersama dengan pemilih lainnya yaitu David Tarigan dan Arian Arifin, kami sepakat memilih sampul album Frau ini sebagai bagian dari 99 Sampul Album Musik Indonesia Terbaik.

Setelah proses pemilihan itu, saya menghubungi Gufi, manajer Frau, meminta informasi siapa sosok dibalik gagasan sampul album ini. Gufi menginformasikan bahwa Wowok alias Wok The Rock, salah satu penggagas Yes No Wave sebuah net label, adalah sosok dibalik penggarapan sampul album Frau. Ketika menghubungi Wok The Rock via Twitter, Wowok sedang berada di Australia. Akhirnya saya berdialog dengan Wowok melalui surat elektronik.

Dan inilah kutipannya. Yuk kita baca bersama :
Aku coba merangkai cerita tentang cover album nya Frau “Starlit Carousel” ya. Antara konsep visual dan musik Frau sebenarnya tidak terkait langsung. Saya mencoba mencapai nuansa yang sama dengan konsep musik Frau, bukan menterjemahkan atau menggambarkan konsep musik dan pesan yang terkandung dalam lagu-lagunya.

Pertamakali mendengar lagu-lagu Frau, saya teringat semangat anti-folk nya Regina Spektor-yang kemudian saya ketahui dari Lani kalo dia memang terinspirasi oleh Regina. Namun, Lani tidak berhaluan “anti-folk” sebagai sebuah genre atau movement. Lani suka apa adanya meski tak bisa dielakan dia sungguh membawakan musiknya dalam suasana yang sakral dan elegan. Kombinasi yang sangat saya sukai dalam berkarya visual juga.

Saya seniman yang tertarik dengan konsep apropriasi. Sebuah semangat berkesenian yang dipelopori oleh seniman-seniman dadaisme dan fluxus. Mencerap suatu imaji yang populer untuk kemudian “dikerjain” dengan tujuan memicu sebuah anti-tesis.

Artwork album Starlit Carousel ini awalnya dibuat untuk format MP3 yang dirilis digital di Yes No Wave Music. Artwork menampilkan sebuah foto yang merupakan apropriasi dari karya fotografer fashion papan atas dari Prancis, Guy Bourdin. Beliau fotografer fashion favorit saya setelah Helmut Newton. Karya Guy Bourdin ini menampilkan seorang perempuan dengan gaun pesta sedang terkapar kejatuhan lukisan.

Bagi saya, foto ini mengemukakan bahwa seni murni yang didominasi oleh lukisan sudah sangat angkuh dan sakral ini bisa jatuh menimpa sosok sosialita yang memujanya. Meski berniat anti-tesis atas dunia seni rupa murni (lukisan) yang kokoh, karya foto mas Guy Bourdin ini akhirnya menempati posisi yang sama. (dalam lingkup seni visual, fotografi dan seni media lainnya memang termarjinalkan). Untuk itu saya kemudian “ngerjain” karya ini.

Modelnya bukan sosialita dengan gaun pesta. Tapi seorang gadis lugu dengan dandanan yg mencoba elegan tapi pas-pas-an (gaya dandanan “cantik” yang umum ditemui di fakultas seni, filsafat dan sastra di Yogya). Gambar dari lukisan yang jatuh saya ganti dengan karya foto Guy Bourdin tersebut. Saya tambahkan handphone dalam foto tersebut untuk mengidentifikasi sebuah era, era dimana orang lebih suka menatap layar kecil dibanding tatap muka dalam berkomunikasi. Sebuah anti-tesis tentang dunia seni rupa kontemporer dan keangkuhan high culture.

Saya dan lani kemudian bereksperimen dengan industri musik. Album udah disebarkan gratis dalam format digital. Apakah akan ada yang beli jika dibikin versi fisiknya? Saya meyakinkan lani, bahwa orang Indonesia adalah pemuja benda, masyarakat yang fetish. Jika CD ini memiliki baju yang unik, saya yakin orang pasti ingin memilikinya. Bukan lagi membeli musik, tapi membeli bajunya (kemasannya).

Dari situ saya merancang kemasan unik, namun tetap pas jika ditaruh di rak CD. Hal ini memudahkan orang dalam meletakkan barang dengan ringkas. Format kemasan meniru buku lagu agama kristen seperti Puji Syukur, Madah Bakti, dll. Hal ini untuk memberi nuansa suara musik Frau yang agung. Saya juga ingin menampilkan foto yang ada di cover versi digital, kemudian saya tampilkan dalam bentuk pop-up sepeti kartu ucapan. Desain lirik lagu dalam lingkaran yang berputar adalah usulan dari Lani yang bertujuan menampilkan konsep carousel.

Begitu ceritanya. Maaf jadi nulisnya ngalor-ngidul nih, tapi emang harus diceritain panjang lebar begini. Ohya, catatan: Foto Guy Bourdin yang saya pakai tidak memiliki ijin dari beliau. Jika CD ini diedarkan di Eropa atau US, aku pikir akan bermasalah… Artinya saya harus bayar royalti atau meminta ijin dari pemegang hak cipta karyanya. Nah kita telah menguak gagasan yang dilontarkan Wowok yang menggarap konsep sampul albumnya.

Lika liku proses sebuah karya memang menarik untuk kita simak. Bahwa yang namanya gagasan tetap merupakan lokomotif yang menghela sebuah proses kreativitas. Semoga kita akan lebih hirau dan peduli terhadap sebuah karya, apa saja, terutama musik tentunya.

Teks : Denny Sakrie

Editor : Doddy Irawan