Memahami Konsep Berjualan CD di Restoran Cepat Saji

Memahami Konsep Berjualan CD di Restoran Cepat Saji

Kamarmusik.net, JAKARTA – Judul di atas menjadi pertanyaan yang setiap hari saya dengar dari berbagai orang. Baik itu dari kawan-kawan saya, ataupun kawan-kawan lain di social media. Saya merasa perlu memberikan penjelasan yang pas kepada mereka yang masih penasaran dengan konsep berjualan CD di restoran cepat saji

Penjelasan ini perlu diberikan bukan karena saya mau membela diri (karena konteksnya bukan salah atau benar). Tapi karena dari perihal ini, kita bisa belajar bersama dan ikut mengetahui apa yang ada di otak musisi (seperti saya) dan apa yang ada di otak perusahaan rekaman.

Industri musik tanah air sedang mengalami perubahan besar. Nah… perubahan perilaku konsumen musik dalam mengkonsumsi musik (baca: membeli) menunjukkan perubahan yang sangat berarti bisa berakibat buruk pada beberapa sektor di industri musik. Yang paling terkena dampaknya adalah perusahaan rekaman dan toko retail (di belakangnya termasuk para distributor dan agen).

Konsumen musik tidak lagi membeli CD (apalagi kaset) yang beberapa tahun lalu menjadi media yang paling pas untuk berjualan musik secara masal. Buktinya apa? Mudah saja. Terjadi di depan mata kita. Satu-persatu toko CD tutup. Bahkan yang sudah bertahun-tahun berjaya seperti Aquarius, Disc Tarra (kini tinggal beberapa gerai saja) menutup operasional tokonya.

Saat ini konsumen musik bisa mendapatkan “kebutuhan” musiknya dari internet. Gratis! Bahkan cepat dan tanpa perlu meninggalkan rumah. Mereka tidak perlu lagi memesan bahkan mengantre di toko CD seperti dulu. Sekali tekan tombol di gadget, langsung tersedia musik yang dicari.

Apakah pelaku industri musik lantas pasrah dan berdiam diri saja? Tentu tidak. Mereka telah menyiapkan media pengganti. Muncul Ring Back Tone dan kemudian layanan “full download digital” yang berbayar seperti i-Tunes, Melon, Langit Musik dan sejenisnya. Para konsumen musik diarahkan untuk “membeli” musik dari layanan-layanan ini. Berhasilkah? Yaaa, tapi baru di luar negeri. Di Indonesia? Belum. Apa penghalangnya? Sederhana saja. Tidak semua orang punya smartphone dan tidak semua orang punya kartu kredit. Walaupun hal ini tidak boleh menjadikan kita para pelaku industri musik di Indonesia menyerah, kegagalan format digital menjadi income ini yang kemudian menjadi masalah. Akhirnya perusahaan rekaman memberlakukan “360 Deal”.

Apa sih istilah 360 Deal? Ini merupakan perjanjian kerjasama antara artis dan perusahaan rekaman yang mengatur bahwa si perusahaan rekaman berhak juga akan sebagian (sesuai kesepakatan) pendapatan si artis yang dikontraknya. Simpelnya, si artis digiring masuk ke dalam “manajemen” yang dibuat oleh perusahaan rekaman itu. Contoh: Tadinya si artis dan perusahaan rekaman hanya terikat untuk masalah album rekaman saja. Sekarag  tidak lagi. Seluruh pendapatan artis harus mengalir lewat pintu perusahaan rekaman dulu. Termasuk di antaranya: iklan, pendapatan manggung, main film dan sebagainya.

Is it bad or good? Tergantung. Dalam hal perjanjian kerjasama, apapun yang disepakati semestinya sudah dipertimbangkan untung ruginya terlebih dahulu. Tujuan membuat kesepakatan kerjasama adalah menyatukan kekuatan untuk mencapai tujuan bersama. Apabila tujuan tercapai, saya rasa tidak ada yang dirugikan. Untuk terikat dalam 360 Deal ini, memang diperlukan pemahaman yang baik akan isi perjanjian sedetail mungkin. Saya tidak akan membahas detail megenai ini, mungkin lain waktu.

Intinya 360 Deal menjadi senjata perusahaan rekaman untuk bertahan dalam menurunnya pendapatan mereka karena konsumen musik tidak lagi membeli CD.

Nah, apakah CD masih bisa dijual? Saya yakin bisa, selama perusahaan rekaman menggunakan metode yang tepat dan bertemu konsumen yang tepat. Inilah yang menjadi PR kita semua.

Pertama. CD tidak lagi menjadi sumber utama pendapatan musisi. Sumber pendapatan musisi yang terbesar (di luar negeri pun saya rasa juga begitu) adalah dari pendapatan manggungnya. Bisa juga apabila dia cukup populer, maka nilai kontrak dari iklan juga bisa menjadi sumber pendapatan yang utama. Selebihnya, income musisi juga bisa didapat dari side project mereka (misal: menjadi juri, produser, konsultan musik, menulis buku, muncul sebagai aktor/aktris dan sebagainya yang berhubungan dengan dunia musik).

Kedua. Musik bisa didapat dengan gratis di Internet dari berbagai portal free download. Harus diakui free download yang menggunakan asas gratis dan cepat ini belum ada yang bisa mengalahkan. Bukankah ini yang kita semua inginkan? Gratis dan cepat, dalam segala hal.

Lalu munculah para “purist” dan fanatis. Di dalam industri musik, mereka adalah orang orang yang percaya bahwa CD dan Vinyl adalah format yang paling pas untuk mendengar musik. Kalaupun harus bersentuhan dengan digital, mereka pasti memilih yang berbayar, seperti i-Tunes.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa mereka bisa? Kenapa yang lain tidak? Banyak yang bisa dibahas dan bisa diperdebatkan. Sedikit banyak saya bisa menyimpulkan secara sederhana. Mereka – para purist dan fanatis – mempunyai respect. Betul, mereka menghormati para seniman.

Apakah yang doyan mendownload (baca: secara gratisan) itu tidak punya respect? Jangan tanya saya. Juga jangan tanya pada rumput yang bergoyang. Tanya pada dirimu sendiri : ) None of us can be the judge of others. I must honestly say, our respect for music, can be done in many forms, beyond free downloading.

Saya sendiri termasuk purist dan fanatis. Apapun yang Sting atau Richard Marx rilis akan segera saya buru di manapun itu berada he he. Nah di sinilah letak pembasahan utamanya. Saya yakin, saya tidak sendirian.

Orang seperti saya membutuhkan produk musik yang bisa dipegang, dilihat, dan dibolak-balik sambil tiduran tanpa harus menyalakan komputer dahulu. Saya butuh bentuk fisik CD dan sampulnya. Membuka sampul CD itu adalah semacam ritual yang tidak tergantikan. Menikmati artwork yang ada disampul cover sebuah CD adalah kenikmatan tiada tara.

Artinya CD masih bisa dijual, masih dibutuhkan, untuk orang-orang seperti saya. Uhmmm… saya tidak tahu ada berapa banyak orang seperti saya? Tetapi apabila melihat dari penjualan album Tulus dan Endah n Rhesa yang bisa mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu keping dalam rilisannya, saya semakin yakin CD masih dibutuhkan. Atau tepatnya masih ada yang membutuhkan.

Lalu… di mana saya bisa mendapatkan CD apabila:

1.Toko toko CD sudah tutup.

2. Tidak semua manajemen artist melayani penjualan Cd secara online atau langsung.

Akhirnya saya memahami konsep berjualan CD di restoran cepat saji (saat ini saya bekerja sama dengan KFC). Saya memerlukan outlet untuk menjual CD saya. Outlet ini harus berjumlah banyak dan (kalau bisa) merata di seluruh Indoinesia. Dan satu lagi yang paling penting. Dalam “berjualan” CD, saya memerlukan sales yang handal untuk merayu pembeli agar CD saya bisa terjual. Di sinilah letak keunggulannya. Para Kasir di setiap outlet KFC sudah terbiasa “menjual”. Dan sekarang mereka menjadi ujung tombak penjualan CD saya.

Apakah itu artinya saya sekarang bisa santai-santai saja dan cukup mengandalkan mereka? Oh, tentu tidak! Buat saya ‘produk musik’ yang baik adalah produk yang kuat secara kualitas dan kuat secara marketing. Kuat secara kualitas artinya: tidak dibuat asal-asalan, tetap dibuat dengan kesungguhan, unik, menghibur dan mempunyai valuelebih dari produk lain. Kuat secara marketing artinya: mampu tersebar seluas mungkin dan menimbulkan awarenessseluas mungkin, sehingga nanti ujungnya mampu terjual sebanyak mungkin.

KFC outlets mempunyai 2 kekuatan itu. Setidaknya puluhan ribu keping CD saya bisa terjual tiap bulannya. Penggemar musik saya pun dengan mudah bisa mendapatkan CD saya di outlet KFC terdekat.

“Tapi, KFC tidak ada di kota kecil atau kecamatan, mas” keluh beberapa orang kepada saya. Betul! Begitupun halnya dengan toko CD 🙂

Untuk yang di luar kota, saya menyediakan jasa layanan pembelian online. Saya bundle CD dengan kaos limited edition bertuliskan lirik-lirik lagu saya. Formulanya membeli kaos kemudian mendapat gratis CD Pongki Barata Meets the Stars. Sengaja saya bundle dengan kaos, supaya membedakan dengan yang dijual di outlet KFC.

“Kok ujung-ujungnya harus terjual banyak mas? Mas pongki gak ikhlas dong bermusiknya?”

Saya konsisten menggunakan istilah Industri. Yang artinya ada profit and loss yang menjadi dasar bergeraknya sebuah Industri. Dalam konteks industri, semakin menguntungkan berarti akan semakin berkembang. Sederhana kok.

Musik saya dan industri musik adalah 2 hal yang berbeda tetapi berkaitan. Musik adalah jiwa dan kebutuhan buat saya. Industri musik adalah hanya salah satu aspek yang bersentuhan dengan musik saya. Dalam keadaaan apapun industrinya, saya tetap akan bermain musik dan menciptakan karya. Tetapi apabila dalam perkembangannya ada sekelompok orang dari industri musik ini menawarkan kerjasama yang saling menguntungkan untuk 3 pihak (saya, mereka, dan kalian para pencinta music), why not?

Tanpa pelaku industri musik, mungkin musik saya tidak akan terdengar sampai ujung Papua. Mereka yang di kota Kediri misalnya, akan kesulitan mengakses dan memiliki musik saya. Tapi sebaliknya tanpa saya (penyedia konten musik), si perusahaan rekaman tidak punya ‘bahan’ untuk dijual.

Kesimpulan Dari Konsep Berjualan CD di Restoran Cepat Saji

Berjualan CD lewat outlet KFC (400-an outlet di seluruh Indonesia) bisa jadi kurang ideal untuk sebagian orang. Bagi saya (musisi) yang mebutuhkan media, outlet, dan sistem, saya merasa sangat terbantu.

Tidak ada kehormatan yang saya korbankan. Tidak ada idealisme yang saya turunkan dengan beredarnya CD saya di outlet restoran ayam. Semua proses kreatif bermusik saya selama menggarap alabum ini, sepenuhnya wewenang saya.

Lebih hina mana, berjualan music di restoran ayam cepat saji di mana semua pegawainya adalah orang seperti kita juga yang bekerja untuk menafkahi keluarga mereka atau download gratisan dari Internet tanpa mau tahu bahwa ada hak yang tidak terbayarkan di situ?

Kalau ada sistem berjualan CD atau musik yang lebih baik dari sistem ini, saya pasti mau. Masalahnya, itu belum ada.

Demikianlah cara saya menjelaskan, semoga semua bisa memahami dengan baik. Ingat, tidak ada pihak yang saya coba sudutkan dalam tulisan ini. Alasan saya menulis ini agar kita semua bisa belajar, saling menyumbang buah pikiran, supaya kita sebagai individu kelak makin berkembang, dan industri musik Indonesia semakin maju.

Salam!

Pongki Barata

Editor: @edofumikooo